PetaJurnalis.co.id < Jakarta, 7 Oktober 2024> Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memulai sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 132/PUU-XXII/2024 terkait pengujian formil terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Sidang ini diajukan oleh Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan yang terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), serta perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane.
Kuasa hukum koalisi, Syamsul Alam Agus, dalam keterangannya menyatakan bahwa pengujian formil ini diajukan karena proses pembentukan UU KSDAHE dianggap tidak memenuhi sejumlah asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Beberapa poin yang disoroti antara lain UU 32/2024 dianggap tidak memenuhi : asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta asas keterbukaan.
“UU 32/2024 tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, karena tidak memberikan kejelasan arah kebijakan dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Selain itu, UU ini juga tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan karena proses penyusunannya tidak melibatkan pemangku kepentingan terkait secara menyeluruh, terutama Masyarakat Adat yang paling terdampak. Asas keterbukaan juga diabaikan karena kurangnya transparansi dalam proses pembentukannya,” ujar Syamsul.
Judianto Simanjuntak, kuasa hukum lainnya, menambahkan bahwa koalisi meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan putusan sela kepada Presiden agar tidak menerbitkan peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden hingga Mahkamah memutuskan perkara tersebut. Hal ini didasari oleh temuan tim advokasi yang menunjukkan adanya sepuluh ketentuan dalam UU KSDAHE yang perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
- Iklan Google -
“Dengan adanya putusan sela, akan ada jaminan kepastian hukum bagi para pemohon yang sedang memperjuangkan hak-haknya,” ungkap Judianto.
Muhammad Arman, salah satu anggota tim kuasa hukum, menyoroti bahwa pengujian formil ini dilakukan karena adanya ketidakpatuhan terhadap UUD 1945, UU 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020. Oleh karena itu, koalisi menilai pembentukan UU KSDAHE harus dinyatakan tidak sah secara formil.
Fikerman L. Saragih, salah satu tim kuasa hukum juga meminta kepada MK agar permohonan ini dapat dikabulkan.
“Sebagaimana petitum dalam permohonan para pemohon, dalam Provisi para pemohon meminta Mahkamah mengabulkan dan menyatakan UU KSDAHE ditunda pemberlakuannya sampai dengan adanya putusan Akhir. Sehingga UU KSDAHE sebelumnya, tetap berlaku sampai Mahkamah Konstitusi Memberikan Putusan Akhir dan Mahkamah membatalkan UU KSDAHE yang ada serta mengembalikan pengaturannya kepada UU yang lama”.
Tentunya dari pemeriksaan pendahuluan ini, Para pemohon berharap Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan mereka dan menyatakan UU KSDAHE yang baru tidak berlaku sampai adanya putusan akhir. Jika permohonan ini dikabulkan, UU KSDAHE yang lama akan diberlakukan kembali hingga dilakukan perbaikan terhadap UU yang baru.
Sidang pemeriksaan ini merupakan langkah awal dalam perjuangan Masyarakat Adat dan organisasi lingkungan untuk mempertahankan hak-hak konstitusional mereka yang dirasa tercederai oleh proses pembentukan UU KSDAHE.
Hormat Kami,
Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Constitutional Lawyer Viktor Santoso Tandiasa, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Greenpeace Indonesia, Sawit Watch,
kontak kami :
Syamsul Alam Agus (08118889083)
Muhammad Arman (81218791131)